Tulisan Akademis: Calon Presiden Indonesia 2014 dalam Perspektif Kepemimpinan Gerakan Sosial

(Note: I wrote this for final assignment of Strategic Leadership class in Strategic Management Master’s Program in University of Indonesia)

CALON PRESIDEN INDONESIA 2014 DALAM PERSPEKTIF KEPEMIMPINAN GERAKAN SOSIAL

Ditulis oleh HENDRA WIJAYA HARAHAP (Juni 2014)

 

 

1. PENDAHULUAN

 

1.1. Latar Belakang

Tahun 2014 adalah tahun yang penting dalam perjalanan sejarah Negara dan Bangsa Indonesia karena pada tahun ini terjadi pergantian pucuk pimpinan tertinggi, yaitu Presiden Republik Indonesia, yang diharapkan dapat membawa Negara Indonesia menuju kondisi yang semakin baik setelah dua periode pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Cita-cita reformasi Indonesia setelah tumbangnya Era Orde Baru masih banyak yang belum terpenuhi, sehingga harapan rakyat sangat besar kepada siapapun yang akan menjadi presiden baru Republik Indonesia.

Dua calon presiden, Prabowo Subianto dan Joko Widodo, yang diusung oleh dua kubu koalisi partai dapat ditelaah dalam perspektif gerakan sosial. Dalam perspektif ini, dapat diperlihatkan bagaimana pencalonan kedua tokoh tersebut diawali oleh gerakan sosial yang mereka pimpin, dan bagaimana hubungan gerakan sosial yang mereka pimpin dengan partai-partai politik yang mengusung mereka, serta bagaimana kemampuan mereka dalam memimpin dalam perspektif kepemimpinan gerakan sosial.

1.2. Sumber Data

 

Sumber data untuk tulisan ini diperoleh dari berbagai sumber pemberitaan yang mengutip wawancara dengan kedua tokoh, ditambah dengan tulisan-tulisan pendukung lainnya yang relevan.

2. LANDASAN TEORI

Gerakan sosial (social movement) dapat merubah masyarakat di mana gerakan tersebut terjadi. Ada berbagai jenis gerakan sosial: ada yang terkait dengan ideologi, ada yang revolusioner dalam pencapaian cita-citanya, ada yang mereformasi sistem yang ada, ada pula yang konservatif dan menentang perubahan. Cakupan gerakan sosial dapat meliputi wilayah lokal, dapat juga meliputi wilaya yang lebih luas. Yang menjadi persamaan dari berbagai gerakan sosial adalah siklus hidup atau tahapan perkembangannya: kemunculan (emergence), penyatuan gerakan (coalescence), birokratisasi (bureaucratization), and penurunan (decline, yang disebabkan oleh tekanan, perebutan/pengambilalihan, keberhasilan, kegagagalan, dan mainstream) (Christiansen, 2009).

Menurut Christiansen (2009), gerakan sosial berada di antara dua sisi: partai politik formal dan kumpulan sosial yang informal. Rhiannon (2009) menyimpulkan ada irisan antara keduanya, yaitu contohnya dalam kasus Partai Hijau di Australia (Australian Greens): gerakan sosial dapat menggunakan partai politik dalam mencapai tujuannya, dan sebaliknya partai politik perlu lebih terbuka pada partisipasi gerakan sosial agar lebih terhubung dengan isu-isu penting yang dirasaan masyarakat. Hilgers (2005), berdasarkan teori yang dikembangkan Phillips (1996), melakukan pengamatan di Kanada dan menyimpulkan bahwa hubungan antara partai politik dan gerakan sosial bersifat kompleks: kadang saling bersaing, tetapi kadang juga bekerjasama dan saling melengkapi, dan kadang menghasilkan transformasi partai atau bahkan sistem politik.

Gerakan sosial muncul karena usaha-usaha dari para pelaku (yaitu para individual, organisasi) untuk memperkenalkan atau menekankan pentingnya nilai-nilai baru kepada publik, dan menerjemahkan nilai-nilai baru menjadi tindakan (Ganz, 2010). Gerakan sosial membutuhkan partisipasi dari publik, di mana kepemimpinan memiliki keterbatasan dalam menerapkan kekuasaan, sehingga kemampuan persuasi dan hubungan personal serta kepercayaan sangat berpengaruh (Ganz, 2010). Kemampuan relasional atau membuat dan membina hubungan sosial adalah kemampuan pertama yang diperlukan seorang pemimpin gerakan sosial.

Dengan beranalogi pada kisah Nabi Musa, Ganz (2010) menyatakan bahwa gerakan sosial muncul karena adanya konflik yang memerlukan tindakan untuk perubahan (yaitu pembebasan bangsa Israel dari perbudakan di Mesir), yang didukung oleh kemampuan untuk melakukan perubahan (yaitu bantuan dari Tuhan, keluarga, dan bangsa Israel), dengan struktur organisasi perjuangan yang benar (yaitu setiap sepuluh orang memiliki satu perwakilan kelompok, dan setiap sepuluh kelompok memiliki satu pemimpin, demikian seterusnya).

Ganz (2010) menekankan pentingnya kemampuan bercerita (storytelling) yang merupakan kemampuan kedua yang harus dimiliki seorang pemimpin gerakan sosial. Pemimpin gerakan sosial harus mampu menyampaikan “cerita” baru terkait gerakan sosial yang dipimpinnya, bahwa aksi perlu dilakukan terkait ketidakberesan yang terjadi, yaitu terutama terkait dengan ketidakadilan, dan bahwa aksi tersebut memungkinkan untuk dilaksanakan dengan kemampuan bersama dan solidaritas, walaupun mungkin harus melalui pengorbanan dan komitmen bersama.

Degan kata lain, untuk berhasil, pemimpin gerakan sosial harus mampu membangkitkan emosi, pengharapan, semangat, solidaritas, dan urjensi pada para partisipan melalui storytelling (Ganz, 2010). Singkatnya, menurut Ganz (2010), seorang pemimpin gerakan sosial menceritakan tiga hal: (i) story of self (cerita tentang dirinya, yaitu nilai-nilai apa yang menyebabkan dirinya merasa perlu bertindak); (ii) story of us (cerita tentang kita, yaitu nilai-nilai yang dimiliki bersama untuk bertindak); dan (iii) story of now (cerita tentang urjensi, yaitu pentingnya untuk bertindak sekarang). Ganz (2010) mencontohkan untuk kasus Senator Obama: story of self adalah kisah pribadi yang memungkinkan dirinya berada di Amerika Serikat; story of us adalah bahwa kisah Senator Obama adalah bagian dari kisah negeri Amerika Serikat, negeri yang toleran dan murah hati; dan story of now adalah bahwa masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan karena masih banyak permasalahan di Amerika Serikat yang perlu dibenahi.

Kemampuan ketiga yang harus dimiliki pemimpin gerakan sosial adalah kemampuan membuat strategi dalam beraksi, yaitu yang dipengaruhi oleh motivasi yang tinggi, sumber pengetahuan yang memadai, serta adanya proses belajar (learning process) (Ganz, 2010).

Kemampunan keempat yang harus dimiliki pemimpin gerakan sosial adalah kemampuan secara konsisten menerjemahkan cita-cita perjuangan menjadi aksi nyata secara tepat waktu (Ganz, 2010).

Bagian selanjutnya dari tulisan ini akan membahas bagaimana perjalanan hidup dua tokoh Indonesia, yaitu Prabowo Subianto dan Joko Widodo, sampai pada pencalonan pada pemilihan presiden Republik Indonesia 2014 dalam perspektif gerakan sosial, dan bagaiamana sampai gerakan sosial yang mereka pimpin memiliki saluran berupa partai politik untuk mencapai tujuan, serta empat kemampuan yang dimiliki masing-masing tokoh tersebut: kemampuan relasional, storytelling, membuat strategi, dan melakukan aksi nyata.

3. PEMBAHASAN

3.1. Hasil Pencarian Data

Untuk bagian pembahasan ini, berbagai bahan dikumpulkan untuk mendapatkan data terkait riwayat hidup kedua calon presiden Republik Indonesia 2014, mulai dari riwayat hidup sampai dengan kedua tokoh melakukan gerakan sosial dan memasuki arena politik. Dari berbagai data yang terkumpul, termasuk di antaranya hasil-hasil wawancara dengan kedua tokoh, dapat disarikan juga alasan-alasan mereka memasuki arena politik, serta kemampuan-kemampuan mereka dalam memimpin gerakan sosial yang mereka lakukan. Memasuki arena politik menurut saya adalah cara dari kedua tokoh untuk dapat secara langsung terlibat dalam mewujudkan cita-cita dari gerakan sosial yang mereka lakukan. Tulisan ini melihat fenomena pencalonan kedua tokoh dalam perspeftif gerakan sosial, yaitu gerakan sosial yang dipimpin oleh kedua tokoh.

3.1.1. Calon Presiden 2014 Prabowo Subianto

Prabowo Subianto lahir pada 17 Oktober 1951. Sejak kecil Prabowo sudah diperkenalkan oleh kakeknya bahwa dirinya berasal dari keluarga yang ikut berjuang pada masa penjajahan Belanda. Ayahnya adalah dijuluki Begawan Ekonomi Indonesia, yaitu Sumitro Djojohadikusumo, yang harus mengasingkan diri keluar negeri pada masa pemerintahan Presiden Sukarno. Nasionalisme-nya tumbuh semasa berada di luar negeri, juga kekagumannya pada ide-ide Dunia Barat (Tesoro, 2010). Prabowo menyatakan bahwa dari dulu dia sudah menyadari bahwa dia berasal dari keluarga bangsawan/ksatria dan karena itu memiliki rasa tanggung jawab untuk berjuang untuk kepentingan golongan orang kebanyakan di Indonesia seperti halnya keluarga Kennedy di Amerika yang berasal dari keluarga kaya dan memiliki rasa tanggung jawab dalam memperjuangkan rakyat Amerika (Thompson, 2009).

Jatuhnya pemerinthaan Sukarno pada tahun 1965 dan munculnya rezim baru Suharto membuat Prabowo memutuskan untuk kembali ke Indonesia pada 1968 dan membatalkan berkuliah di Amerika Serikat. Pada tahun 1970, Prabowo mendaftar ke akademi militer. Perjalanan hidupnya di akademi militer tidak semulus yang diharapkan, Prabowo seperti anak-anak pejabat elit lainnya mendapat perlakukan keras dari para seniornya, dan Prabowo sempat mengalami tidak naik kelas. Tetapi Prabowo tetap bertahan di akademi milier, dan perjalanan hidupnya di militer ternyata berbuah baik karena lewat komandannya yang merupakan ipar Presiden Suharto, Prabowo dapat berkenalan dengan keluarga Presiden Suharto dan akhirnya menikahi puteri Presiden Suharto, Sidi Hediati Harijadi pada tahun 1983 (Tesoro, 2010).

Pada tahun 1995, Prabowo menjadi wakil komandan Kopassus dan menjadi komandan setahun kemudian. Kopassus memiliki reputasi sebagai kesatuan yang terlatih dengan sangat baik dengan pendanaan yang baik karena Prabowo. Prabowo terlibat langsung dalam tugas-tugas lapangan, termasuk di Timor Leste dan Papua. Prabowo memiliki konflik dengan beberapa pejabat militer, menurut Mayjen Sudrajat ide-ide Prabowo sebenarnya brilian tetapi dia tidak sabar dan memilih jalan pintas untuk perubahan dan hal tersebut menimbulkan konflik dengan para petinggi militer pada saat itu (Tesoro, 2010).

Pada tahun 1998, terjadi kerusuhan di Jakarta dan beberapa kota besar di Indonesia dan Presiden Soeharto lengser dari jabatannya. Kedua hal ini memiliki korelasi dengan berakhirnya jabatan Prabowo di kemiliteran. Kontroversi mengenai keterlibatan Prabowo dalam kerusuhan terutama di Jakarta, juga mengenai penculikan para aktivis, masih tetap menjadi kontroversi (Tesoro, 2000; Sijabat, 2004) dan menjadi perbincangan pada saat pemilihan presiden saat ini. Menanggapi isu penculikan aktivis, Prabowo menyatakan bahwa pada saat itu dia adalah perwira yang bertugas dan dia bertindak sesuai dengan situasi pada saat itu, bahwa dalam konteks yang berbeda dia bisa saja mendapatkan penghargaan karena dalam beberapa operasi yang dia pimpin pada saat itu ada rencana pemboman yang digagalkan, serta bahwa beberapa aktivis yang dulu adalah korban penculikan sekarang adalah pendukungnya menjadi calon presiden (Thompson, 2009).

Prabowo meninggalkan Indonesia dan sempat bermukim di negara Yordania selama sebelum akhirnya kembali ke Indonesia pada tahun 2001 (Amri dan Siswanto, 2008). Kembalinya Prabowo ke Indonesia dapat dilihat sebagai awal dimulainya langkah gerakan sosial yang dia lakukan terkait dengan pencalonan dirinya menjadi pemimpin bangsa Indonesia. Prabowo menjadi pemimpin di organisasi-organisasi sosial, yaitu antara lain Ketua Umum Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) untuk beberapa periode, kemudian mendirikan beberapa organisasi masyarakat seperti Asosiasi Petani Indonesia, Asosiasi Pedagang Pasar Tradisional Indonesia. Prabowo dapat melakukan gerakan sosial karena memiliki dukungan finansial dari bisnis yang dimiliki oleh Prabowo dan adiknya Hashim Djojohadikusumo (Viva News, 2009).

Prabowo menyatakan bahwa dia memiliki ide-ide yang nyata untuk merubah keadaan Indonesia yang saat ini dalam posisi terbelakang di tengah sumber daya yang melimpah, yang selalu mengandalkan bantuan asing, yang memiliki sistem ekonomi yang pada intinya mendukng oligarki dengan hanya sedikit anggota masyarakat yang menikmati hidup yang nyaman dan sejahtera dan selebihnya hidup dalam kesusahan.

Prabowo berafiliasi dengan Partai Golkar dan sempat mengikuti konvensi Partai Golkar untuk menjadi calon presiden dari Partai Golkar pada tahun 2004, namun gagal memenangkan konvensi tersebut (Ananta, 2005).

Mungkin kegagalan di Partai Golkar tersebut yang menyebabkan Prabowo akhirnya mendirikan Partai Gerakan Indonesia Raya (atau Partai Gerindra) bersama para pendukungnya pada tahun 2008. Partai Gerindra tidak dapat mengajukan Prabowo sebagai calon presiden 2009, tetapi Prabowo berhasil menjadi calon wakil presiden bersama Megawati Sukarnoputri sebagai calon presiden. Pasangan Megawati-Prabowo akhirnya kalah dari pasangan Susilo Bambang Yudoyono-Boediono (Kompas, 2014).

Pada Pemilihan Umum Anggota Legislatif 2014, Partai Gerindra mendapatkan 11,81% perolehan suara, dan dengan dukungan koalisi dari beberapa partai politik lainnya mengajukan Prabowo menjadi calon presiden 2014. Prabowo menyatakan bahwa dia meyakini bangsa Indonesia menginginkan kepemimpinan yang kuat, kepemimpinan yang tegas namun bukan yang otoriter, kepemimpinan untuk perubahan nyata Indonesia (Thompson, 2009).

3.1.2. Calon Presiden 2014 Joko Widodo

Joko Widodo atau populer disebut Jokowi lahir pada 21 Juni 1961. Joko Widodo berasal dari keluarga miskin. Semasa kecil rumah orangtuanya berpindah-pindah mengontrak karena tidak punya rumah, bahkan pernah tinggal di bantaran Kali Anyar, Solo dan digusur pemerintah Solo (Tribun News, 2012). Joko Widodo mengenyam pendidikan dari SD sampai SMA di sekolah-sekolah negeri di Solo, dan menyelesaikan pendidikan sarjana di Fakultas Kehutanan UGM, Yogyakarta. Sejak kecil Joko Widodo sudah bekerja biaya sekolah dan membantu keluarganya (Segu, 2012).

Joko Widodo mendirikan usaha mebel seteleh lulus dari UGM dan usahanya maju setelah berhasil mengekspor mebel ke Eropa (Segu, 2012; Tedjasukmana, 2012). Kegiatan ekspor mebel ini membawanya menjelajahi Eropa dan perjalanannya itu memberikan inspirasi untuk membangun kota yang manusiawi dengan tiga bahasa: bahasa kemanusiaan, bahasa kerja, dan bahasa kejujuran (Segu, 2012).

Perspektif internasional yang dimilikinya membuat Joko Widodo memberanikan diri ikut dalam pemilihan Walikota Solo tahun 2005 dan menang melawan walikota incumbent. Sebagai tokoh yang kurang dikenal pada saat itu, kemenangan Joko Widodo tentu mengejutkan. Menurut Joko Widodo, dia menang karena orang tidak menyukai ‘wajah lama’ dan lebih menyukai untuk mencoba sosok baru. Untuk pemilihan Walikota Solo tahun 2009, Joko Widodo memenangkan pemilihan dengan 91% suara (Ashton, 2014).

Keberhasilan Joko Widodo sebagai walikota Solo mendapat pengakuan dari dalam dan luar negeri, antara lain karena keberhasilan merelokasi pedagang kaki lima, memperbaiki tata kota, dan mendekatkan komunitas-komunitas antarkeyakinan beragama di Solo (Tedjasukmana, 2012).

Pada tahun 2012 Joko Widodo mengikuti pemilihan Gubernur DKI Jakarta dan berhasil mengalahkan gubernur incumbent. Fenomena baru yang terjadi pada pemilihan gubernur DKI Jakarta adalah adanya dukungan untuk Joko Widodo dan wakilnya Basuki Tjahaja Purnama atau “Ahok” dari sosial media yang digerakkan oleh para relawan yang tergabung dalam Jokowi-Ahok Social Media Volunteers (JASMEV) (Tempo.co, 2012). Penggunaan teknologi baru untuk mendukung calon pemimpin pemerintahan belum pernah semasif ini.

Masyarakat melihat Joko Widodo sebagai seorang kandidat yang cocok untuk pemberantasan korupsi dan kemiskinan. Joko Widodo membuat satu lagi fenomena baru dalam pemerintahan, yaitu fenomena blusukan (kunjungan tak terjadwal). Menurutnya permasalahan bukan di kantornya, tapi ada di luar sana, dan blusukan memberinya kesempatan langsung untuk bertanya apa yang masyarakat perlukan (Ashton, 2014). Fenomena blusukan telah menyita perhatian rakyat dan media pada Joko Widodo dan Basuki Tjahaja Purnama. Hampir setiap hari media memberitakan kegiatan blusukan dan jalannya pemerintahan DKI Jakarta.

Joko Widodo menyatakan bahwa dia telah mempelajari di Solo tentang bagaimana menangani media dan menampilkan perbedaan dibandingkan dengan kandidat lawan (Tapsell, 2014). Joko Widodo melihat bahwa wawancara di kantor tidak akan mendapat perhatian media dan publik, tetapi langsung berada di lokasi yang menjadi permasalahan di masyarakat dan menjawab langsung pertanyaan masyarakat akan sangat menarik minat (Tapsell, 2014).

Banyak hal yang telah dilaksanakan Joko Widodo di Jakarta antara lain adalah skema pelayanan kesehatan gratis, pemberian peralatan sekolah kepada keluarga miskin, dan peresmian sistem mass rapid transit (Ashton, 2014). Kekuatan Joko Widodo adalah mampu menjalankan perubahan dan membuat masyaratkat ikut serta, dan ini membuat Joko Widodo sangat populer di polling-polling politik untuk menjadi calon presiden Republik Indonesia 2014 walaupun belum ada yang mencalonkannya secara resmi (Ashton, 2014; Tapsell, 2014).

Karena kepopuleran Joko Widodo tersebut, PDIP (dan diikuti oleh partai-partai koalisinya) akhirnya mendukung Joko Widodo maju sebagai calon presiden Republik Indonesia 2014 pada 14 Maret 2014, ditandai dengan menguatnya Rupiah dan naiknya Indeks Harga Saham Gabungan sebesar 3,23% (Kompas, 2014).

Kwok (2014) melihat fenomena pencalonan Joko Widodo dalam beberapa hal mirip dengan pencalonan Barack Obama pada tahun 2008: usia yang relatif muda, mempunya banyak pendukung, terkena kampanye hitam, dan memiliki calon wakil yang senior untuk membantu menghadapi dunia politik yang keras.

Media di Indonesia belum pernah belum pernah melihat fenomena seperti Joko Widodo sebelumnya. Menurut chief editor Kompas, Joko Widodo adalah people’s darling, bukan media darling. Masyarakat merasa dekat dengannya. Joko Widodo menarik hati masyarakat karena dia menampilkan diri sebagai orang biasa dan memberi harapan akan adanya perubahan (Tapsell, 2014). Joko Widodo dipersepsikan sebagai calon presiden yang merakyat, peduli, bersih, dan antikorupsi (Tribun News, 2012).

3.2. Analisa

3.2.1. Analisa tentang Prabowo

Dari data yang diperoleh terlihat bahwa perjalanan hidup Prabowo telah dimulai dengan semangat tanggung jawab sebagai anggota dari privileged group di Indonesia. Jalur yang ditempuhnya untuk menjadi pemimpin bangsa Indonesia melalui jalur militer ternyata terhambat pada saat terjadinya peralihan kekuasaan Presiden Soeharto pada tahun 1998. Prabowo kembali berusaha melakukan usaha menjadi pemimpin bangsa ini melalui jalur politik, yang dimulainya dengan melakukan gerakan sosial, antara lain dengan menjadi pemimpin di beberapa organisasi sosial dan aktif mengkampanyekan perlunya perubahan sistem ekonomi Indonesia (Thompson, 2009) untuk menyejahterakan rakyat yang saat ini kebanyakan miskin.

Dalam konteks tipologi hubungan partai politik dan gerakan sosial Hilgers (2005), pembentukan Partai Gerindra oleh Prabowo dan para pendukungnya dapat dilihat sebagai upaya untuk mendukung gerakan sosial yang dipimpinnya, atau hubungan yang bekerjasama dan saling melengkapi antara Partai Gerindra dan gerakan sosial yang dipimpin Prabowo.

 

Kemampuan relasional Prabowo terbukti baik dengan keberhasilannya menghimpun berbagai kekuatan partai dan non-partai di masyarakat untuk pencalonan dirinya sebagai calon presiden Republik Indonesia 2014.

Kemampuan storytelling Prabowo terbukti baik dengan tersampaikannya story berikut kepada masyarakat: (i) story of self, yaitu bahwa Prabowo adalah seorang dari keturunan pejuang atau ksatria yang terpanggil untuk memperjuangkan nasib bangsa Indonesia; (ii) story of us, yaitu bahwa kita bangsa Indonesia adalah pemilik negara yang kaya, kita penduduknya harus sejahtera; dan (iii) story of now, yaitu bahwa kondisi ekonomi saat ini membutuhkan perubahan sistem ekononomi, yaitu menjadi sistem ekonomi yang tidak memperkaya hanya sebagian kecil masyarakat.

Kemampuan strategi dan kemampuan aksi Prabowo terbukti baik sejauh ini sampai pencalonan dirinya, namun masih harus dibuktikan apakah dengan dukungan berbagai pihak dan rakyat bisa memenangkan pemilihan umum dan memimpin negara Indonesia sampai mendapatkan keberhasilan sesuai yang dicita-citakan.

3.2.2. Analisa tentang Joko Widodo

Dari data yang diperoleh terlihat bahwa perjalanan hidup Joko Widodo adalah seperti kebanyakan rakyat Indoneisa. Dia muncul dari bawah, berbeda dengan Prabowo yang berasal dari privileged group di Indonesia. Jalur yang ditempuhnya untuk menjadi pemimpin bangsa Indonesia dimulai dari kesadaran pribadi bahwa ada yang dapat dilakukan untuk memperbaiki keadaan, yaitu dimulai dari Kota Solo. Ternyata ‘muka baru’ disukai masyarakat karena sudah bosan dengan perilaku para pejabat lama. Joko Widodo mendapat dukungan luas dari masyarakat dalam program-program perubahan yang dilakukannya di Solo. Apa yang dilakukannya dapat dilihat sebagai sebuat gerakan sosial, yaitu perubahan mental masyarakat seperti motto kampanye pencalonannya sebagai presiden Republik Indonesia 2014.

Joko Widodo tidak membentuk partai politik baru seperti halnya Prabowo, tetapi karir politik Joko Widodo maju karena dukungan dari partai-partai politik yang merasa dapat menaruh kepercayaan kepadanya. Dalam konteks tipologi hubungan partai politik dan gerakan sosial Hilgers (2005), dukungan partai-partai politik kepada Joko Widodo adalah hubungan yang bekerja sama dan saling melengkapi.

Sama halnya dengan Prabowo, kemampuan relasional Joko Widodo terbukti baik dengan keberhasilannya menghimpun berbagai kekuatan partai dan non-partai di masyarakat untuk pencalonan dirinya sebagai calon presiden Republik Indonesia 2014.

Kemampuan storytelling Jokowi juga terbukti baik dengan tersampaikannya story yang berbeda: (i) story of self, yaitu bahwa Joko Widodo adalah seorang yang berasal dari masyarakat biasa seperti kebanyakan rakyat Indonesia, sering menyebut dirinya sebagai wong ndeso; (ii) story of us, yaitu sebagai bagian dari masyarakat kebanyakan, Joko Widodo merasa perlu mengajak untuk adanya perubahan di masyarakat, termasuk perubahan mental; dan (iii) story of now, yaitu bahwa kondisi masyarakat saat ini membutuhkan perubahan yang nyata, yang perlu langsung dilihat dan diperbaiki, antara lain dengan cara blusukan.

Kemampuan strategi dan kemampuan aksi Joko Widodo terbukti baik sejauh ini sampai pencalonan dirinya, namun masih harus dibuktikan apakah dengan dukungan berbagai pihak dan rakyat bisa memenangkan pemilihan umum dan memimpin negara Indonesia sampai mendapatkan keberhasilan sesuai yang dicita-citakan.


 

4. KESIMPULAN

Pencalonan diri kedua tokoh Prabowo dan Joko Widodo dapat dilihat dari perspektif kepemimpinan gerakan sosial, yaitu gerakan sosial yang sama-sama dilandasi oleh semangat perubahan. Prabowo menginginkan perubahan nasib rakyat Indonesia yang sekarang ini masih banyak yang belum sejahtera; demikian juga Joko Widodo menginginkan perubahan kondisi masyarakat, termasuk perubahan mental.

Yang membedakan Prabowo dan Joko Widodo terutama adalah dalam hal story of me. Prabowo merasa terpanggil selaku seorang ksatria dan menggunakan sumber daya dan dukungan yang diperolehnya untuk maju memimpin Indonesia. Adapun Joko Widodo sebagai seorang warga biasa, wong ndeso, maju untuk memimpin selain karena kesadaran yang muncul tentang perlunya perubahan juga karena besarnya dukungan yang dia terima dari masyarakat.

Dalam hal dukungan partai politik, keduanya mendapatkan dukungan dari banyak pihak untuk gerakan sosial yang mereka pimpin. Yang membedakan adalah bahwa Prabowo, dengan dukungan sumber dana yang dimilikinya, mendirikan partai baru untuk mendukung cita-cita gerakan sosialnya.

Kemampuan-kemampuan kedua tokoh dalam perspektif gerakan sosial adalah sama-sama baik, yaitu kemampuan relasional, kemampuan story telling, kemampuan strategi dan aksi. Keduanya mampu untuk memperoleh dukungan yang kuat dari berbagai pihak sampai akhirnya dapat mengajukan diri menjadi  calon presiden Republik Indonesia 2014.

Terakhir, perbedaan yang juga terlihat adalah atribut yang dipersepsikan kepada kedua tokoh. Prabowo dipersepsikan sebagai calon presiden yang tegas, gagah dan memiliki visi, sedangkan Joko Widodo dipersepsikan sebagai calon presiden yang merakyat, peduli, bersih, dan antikorupsi


 

DAFTAR PUSTAKA

  1. Amri, A.B. dan Siswanto (2008). Setelah semedi di Yordania. VivaNews, 9 Oktober 2008. http://m.news.viva.co.id/news/read/1916-setelah_semedi_di_yordania
  1. Ananta, A. (2005). Emerging democracy in Indonesia. Institute of Southeast Asian Studies, Singapore.
  1. Ashton, J. (2014). On the road to power? Meet Joko Widodo, Indonesia’s very own Boris Johnson. The Independent, 26 Januari 2014. http://www.independent.co.uk/news/world/asia/on-the-road-to-power-meet-joko-widodo-indonesias-very-own-boris-johnson-9086584.html
  1. Christiansen, J. (2009). Four Stages of Social Movements. EBSCO Research Starters, EBSCO Publishing Inc.
  1. Ganz, M. (2010). Leading change: leadership, organization, and social movements. Handbook of leadership theory and practice, Academic Press, pp.527 – 568.
  1. Hilgers, T. (2005). Competition, Cooperation, or Transformation? Social Movements and Political Parties in Canada. Critique: A worldwide journal of politics, Fall 2005.
  1. com (2014). Efek Jokowi memberi tenaga ke Rupiah dan bursa saham. Liputan6.com, 14 Maret 2014. http://bisnis.liputan6.com/read/2023020/efek-jokowi-beri-tenaga-ke-rupiah-dan-bursa-saham
  1. Kompas (2014). PDI-P: Mega-Prabowo Kalah pada 2009, Perjanjian Batu Tulis Tak Berlaku. Harian Kompas. http://nasional.kompas.com/read/2014/03/17/1231190/PDI-P.Mega-Prabowo.Kalah.pada.2009.Perjanjian.Batu.Tulis.Tak.Berlaku
  1. Kwok, Y. (2014). ‘Indonesia’s Obama’ Is Actually Nothing of the Sort. http://time.com/105650/indonesias-obama-is-actually-nothing-of-the-sort/
  2. Phillips, S.D. (1996). “Competing, connecting, and complementing: Parties, interest groups, and new social movements” in A. Brian Tanguay and Alain-G. Gagnon (eds) Canadian Parties in Transition, 2nd ed. Toronto: Nelson Canada.
  1. Rhiannon, L. (2009). Social movements and political parties: conflicts and balance. Cosmopolitan Civil Societies Journal, Vol.1, No.2, 2009, pp. 30 – 41.
  1. Sijabat, R.M. (2004). Six years after, May 1998 tragedy still unresolved. The Jakarta Post, 13 May 2004. http://www.thejakartapost.com/news/2004/05/13/six-years-after-may-1998-tragedy-still-unresolved.html
  1. Segu, V. (2012). Dari bantaran kali menuju DKI-1. Inilah.com, 16 Juli 2012. http://metropolitan.inilah.com/read/detail/1882818/dari-bantaran-kali-menuju-dki-1#.U5RuwPmSwbc
  1. Tapsell, R. (2014). The Jokowi phenomenon. Inside.org.au. http://inside.org.au/the-jokowi-phenomenon/
  1. Tedjasukmana, J. (2012). The Man in the Madras Shirt: An Outsider Campaigns for Jakarta’s Top Job. Time.com. http://world.time.com/2012/07/10/the-man-in-the-madras-shirt-an-outsider-campaigns-for-jakartas-top-job/
  1. co (2012). Sukarelawan Jokowi-Ajok luncurkan JASMEV. Tempo.co, 12 Agustus 2012. http://www.tempo.co/read/news/2012/08/12/230422972/Relawan-Jokowi—Ahok-Luncurkan-JASMEV
  1. Tesoro, J.M. (2000). A scapegoat? Among questions that should have been asked: Was Prabowo Subianto truly the single “mastermind”? Asiaweek, March 3, 2000 VOL. 26 NO. 8. http://www-cgi.cnn.com/ASIANOW/asiaweek/magazine/2000/0303/cover1.html
  1. Tesoro, J.M. (2010). An Idealist’s Rise And Fall: How an ambitious officer tried to make a difference – but compromised himself in the process. Asiaweek, March 3, 2000, VOL. 26, NO. 8. http://www-cgi.cnn.com/ASIANOW/asiaweek/magazine/2000/0303/cs.family.html
  1. Thompson, G. (2009). The Farmer Wants a Country. http://www.abc.net.au/foreign/content/2009/s2532107.htm.
  1. Tribun News (2012). Jokowi kecil, rumah digusur, tiga kali pindah kontrakan. Tribun News, 21 September 2012. http://www.tribunnews.com/lifestyle/2012/09/21/jokowi-kecil-rumah-digusur-tiga-kali-pindah-kontrakan
  1. Viva News (2009). Bisnis Prabowo yang menggurita. Viva News, 11 Mei 2009. http://bisnis.news.viva.co.id/news/read/56564-bisnis_prabowo_yang_menggurita
  1. hkti.or.id
  1. partaigerindra.or.id

Book Summary: Saladin: The Life, The Legend and the Islamic Empire, by John Man (2015)

I summarized this book in 2015 and shared it to 1 or 2 Whatsapp groups.
Book Title: Saladin: The Life, The Legend and the Islamic Empire, by John Man (2015)
Saladin’s Great Leadership as analyzed by John Man:
– One key to his success: he combined two styles of leadership: hard and soft.
– Saladin had charisma. How did he become charismatic? It came from childhood experiences which carried over into adulthood:
  • enough insecurity due to changes in his environment (Sunni vs Shia, Islam vs Christianity, local leaders vs each other) to inspire a desire to change the world; and
  • enough security (provided by parents, wider family, a group, a class system, education) to confront his challenge without lapsing into paranoia, criminality etc.

– Saladin had these traits:

  • problem-solving skills
  • social competence
  • a sense of purpose
  • an ability to stay removed from family discord (conflict)
  • an ability to look after oneself
  • high self-esteem
  • an ability to form close personal relationships
  • a positive outlook
  • focused nurturing (a supportive home life)
  • a well-structured household
  • high but achievable expectations from parents
– Saladin was programmed for leadership. He had the agenda or the vision: an Islamic world free from the non-Islamic, anti-Islamic outsiders.
– Another prime element of Saladin’s leadership: his readiness to share adversity (hardships, risking his life, sufferings)
– Other key qualities: austerity (not greedy, considered his followers before himself, in death he had nothing to his name), integrity (keeping his words).
– All his quality strengthened the morale of his followers.
– He had mentors (his father, uncle, his father’s boss the Syrian Sultan).

Novel I Read: A Curious Incident of the Dog in the Night-Time

(Note: This is a re-post with minor edits. I once posted this summary in my old blog in 2005, which does not exist now).

Novel Title: A curious incident of the dog in the night-time (Author: Mark Haddon)

This novel tells a story with the perspective of an autistic boy, Christopher, 15 years old. The story started with a death of a dog belonged to a neighbor, which made Christopher decided to investigate to find out who themurderer was, which led to surprising and sad revelations.

Christopher likes Sherlock Holmes (for being logical) but doesn’t like the author Sir Arthur Conan Doyle (who believed in supernatural things). Christopher loves dogs, wants to be an astronaut, has a videographic (not just photographic) memory, is very brilliant in math (knows prime numbers up to a very big number) and science. He’s always honest (because he cannot make up stories to lie). He hates yellow and brown, loves red, doesn’t like crowds (and strangers) and always has big problem recognizing human emotions and sentences with metaphors (though similes are OK).

This novel gives some insights of how an autistic mind works.

Book Summary: Anyone Can Do It: Building Coffee Republic from Our Kitchen Table

(Note: This is a re-post with minor edits. I once posted this summary in my old blog in 2005, which does not exist now).

Book Title: Anyone Can Do It: Building Coffee Republic from our Kitchen Table (Authors: Sahar and Bobby Hashemi)

This book is about an actual experience of a sister and brother building a business of coffee specialty outlets, from an idea into a real big business. (Note: This was before Starbucks era).

It started with an idea: One night in 1994 Sahar (the sister) said to her brother Bobby that she missed the experience of drinking coffee in the US, the taste, etc. At that time, to get coffee in London, you have to go to places selling sandwiches; coffees were merely additionals with poor taste, presentation (plastic cups and lids made from cheap materials). England was (and is) a tea drinking nation (no Starbucks yet). So then Bobby thought building american style coffee outlet in London was a very brilliant idea.

With that idea in minds, they quit jobs (each formerly a lawyer and investment banker). They started the search and research for knowledge of coffee, the market, demand and supply, technology, potential places for outlets, financing alternatives, etc. This book gives so much valuable lessons in starting a business from zero.

In about a year since the idea they opened an initial outlet. Bobby almost gave up since it did not do well in several first months but eventually people spread the words of the great experience drinking coffee at Coffee Republic. Coffee Republic expanded into 20 outlets a year after and became a giant in 5 years and eventually become a publicly listed company.

An inspiring book, I admire the hard works, dedication, courage of the authors in building the business, how they’re so organized, and so smart.

Novel I Read: The Kite Runner (Author: Khaled Hosseini)

(Note: This is a re-post with minor edits. I once posted this summary in my old blog in 2005, which does not exist now).

Novel Title: The Kite Runner (Author: Khaled Hosseini)

This is a story about a man (a Pashtun, majority tribe in Afghanistan) revisited his homeland after receiving a letter from an old friend of his family, a letter sending a photograph of a man who used to be his childhood friend, a son of his father’s servant (a Hazara, minority tribe from lower social class).

The man told stories of his childhood years, of Afghanistan history(before Russia invasion, during and after the invasion) and of the time when he revisited the country when the Taliban was in control). An incident happened at his childhood years: he neglected his loyal and loving Hazara friend, a turning point of their relationship. For you a thousand times over, that was the last words of his friend.

His cowardice, disloyalty brought regrets and eventually brought him back to his homeland because, as the letter he received said, there’s something could be repaired. He found many things: sad revelations about his Hazara brother, his father, how his homeland had become, encounter with an old enemy. Most importantly, he found his courage.

This is a great novel, very touching. About love, hate, pride, sorrows, regrets, forgiveness, Afghans, and Afghanistan.

Novel I Read: A Thousand Splendid Suns by Khaled Hosseini

(Note: This is a re-post with minor edits. I once posted this summary in my old blog in 2007, which does not exist now).

Novel Title: A Thousand Splendid Suns (Author: Khaled Hosseini)

A Thousand Splendid Suns tells a sad story of two Afghan women, who came from two different places and cultures but eventually gathered in one house in the war-ridden Kabul. A very sad book with all the miseries happened to those two poor women, with so many mean people around them.

The author introduced history of Afghanistan: from the monarchy era to the time of Soviet invasion, then the warlords era to the time when the Taliban took control until the Post 9/11 era.

I like one quote in the novel saying something like this: An Afghan can defeat all but himself. After all the hardships in fighting the Soviet, I find it sad that the Afghans should suffer from all the fighting among themselves…

Book Summary: Freakonomics

(Note: This is a re-post with minor edits. I once posted this summary in my old blog in 2006, which does not exist now).

Book Title: Freakonomics: A Rogue Economist Explores the Hidden Side of Everything (by Steven Levitt and Stephen J. Dubner)

This is a very interesting book, gives a new perspective on how economics/economists can explain things, answer questions, in unusual ways. Some of the problems covered: how crimes fell dramatically in the 90s in the US (author’s conclusion: legalized abortion), how the sumo wrestlers in Japan and teachers in the US are or were cheating, the economics of drug dealers, socioeconomic patterns in naming children.

By clever algorithms and asking the right questions, correct information can be gathered, and things can be explained.

Book I Read: Blink by Malcolm Gladwell

(Note: This is a re-post with minor edits. I once posted this summary in my old blog in 2006, which does not exist now).

Book Title: Blink: The Power of Thinking Without Thinking (Author: Malcolm Gladwell)

This book tells about the ability of some highly skilled people to make snap judgments. They know things (e.g. quality of things) only by looking or hearing or sensing in a very short duration of time (seconds or even fractions of a second).

The author explained that the process of thinking in such cases is done in subconscious level. Art experts can sense instantly and accurately that art objects they see are fake ones (although mostly they cannot provide good explanations for their opinions) . Vic Braden, the famous tennis player/coach, at times can know almost perfectly that a tennis player is about to make a double fault when the player is about to do the first serve, although desperately fails to explain why he can sense that.

The author gives an entertaining story of such cases, to show us how our minds work. He also write about studies in psychology which show that we have prejudices/assumptions/associations on unconscious level that can reflect in our actions when such actions are done unconsciously; those unconscious actions may be the opposites of the ones we would choose consciously. So snap judgments are not always good.

The book doesn’t really teach us on how to think without thinking (to accurate snap judgments). For me it is an obvious fact that experienced persons will have those kind of abilities, and some exceptional individuals have the best abilities.

Book Summary: Undercover Economist by Tim Harford

(Note: This is a re-post with minor edits. I once posted this summary in my old blog in 2006, which does not exist now).

Book Title: Undercover Economist (Auhtor: Tim Harford)

The book explains in a fun and entertaining way (among others):

  • the economics of Starbucks (price targeting, who get the most from Starbucks’ premium price, etc), supermarkets, used car markets, insurance companies, property price (and rental rates)
  • environmental issues related to free trade
  • how poor countries stay poor
  • how China grows

using economic theories like scarcity and externalities), game theory and also marketing theories.

Tim Harford argues that free trade and free movement of capital are the best for all. For developing countries, regarding the foreign direct investments, there are issues related to environmental abuses, poor working conditions for labors (cheap labors being used inhumanely), but he defends that foreign domestic investments itself don’t cause environmental damages (but local corrupt governments are more likely to be the sinners) and that working in poor working conditions is better for the labors since other choices are worse or simply unavailable.

Book Summary: The World is Flat by Thomas L. Friedman

(Note: This is a re-post with minor edits. I once posted this summary in my old blog in 2006, which does not exist now).

Book Title: The World is Flat (Author: Thomas L. Friedman)

This book points out that the world is now flat, where all the playing fields are leveled. The fall of Berlin Wall in 1989 had triggered more openness throughout the world (end of Cold War, no more Soviet and so on). Coincided by many breakthroughs and advancements of information technology, the openness has quickly and dramatically empowered individuals, groups, companies and even countries to work, collaborate and compete more equally, creatively, intelligently in a new platform which operates without regard to geography, distance, and, in the near future, even language. Everybody everywhere can plug and play with everybody else.

It’s interesting to know how Mr. Friedman as an American was worried that the US is not preparing the current generation well enough to face the future competition to China, India, East Europe and the others. Well, look at us here in Indonesia, with the current educational system, the poor will have limited access to good quality education, and, with most of us here are poor people, how will we compete…

Mr. Friedman also admitted that in many ways many parts of the world are still unflat, being left behind, which are the unflattening forces: many people are too sick (by AIDS, malaria, TB, etc), too poor (no access to participate), too frustrated (al-Qaeda and other Islamist terror organizations), and too much consuming natural resources (big cities eating up fuels and polluting the earth).

This is an exciting read, pointing out our modern history. Mr. Friedman’s comments on Arab-Muslim world should be read by Muslims as valuable critics (most left behinds are in the Arab-Muslim part of the world).